I. KONSEP DASAR HEMODIALISA
A. Cronic Kidney Disease
1. Pengertian
Gagal Ginjal kronis merupakan akibat akhir dari kehilangan fungsi gnjal secara berlanjut (Dongoes edisi 3 th 2000).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan penurunan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddart, 2002).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 ml/menit (Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektroli sehingga terjadi uremia (Smeltzer & Bare, 2001)
Gagal ginjal kronik/ Cronic Kidney Disease (CKD) adalah penurunan fungsi ginjal yang persisten dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat (Arif Mansjoer, 2000)
Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis adalah adanya kerusakan fungsi ginjal secara progresif sehingga tubuh akan mengalami gangguan karena ginjal tidak mampu mempertahnkan substansi tubuh dalam keadaan nomal.
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
1. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan CKD dan mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
2. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
3. Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau mengobati masalah ini.
4. Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan membutuhkan persiapan.
5. Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan ginjal.
Sumber: http://spiritia.or.id/cst/dok, www.ikcc.or.id diakses 7 Maret 2009
3. Etiologi
a. Infeksi saluran kemih (ISK)
ISK bagi dalam dua subkatagori yaitu ISK bagian bawah (pielonefritis akut). Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal yang progresip berupa kelainan ginjal disebabkan, oleh infeksi yang berulang dan menetap pada ginjal, yang menyebabkan kelainan anatomi pada ginjal dan saluran kemih seperti refluks vesiko, ureter, obstruksi, kalkuli atau kandung kemih neurogonik. Kerusakan ginjal pada pielonefritis akut/kronik atau disebut juga nefropati refluks diakibatkan refluks urin yang terinfeksi ke uretra dan masuk kedalam parenkim ginjal (refluks internal). Piolonefritis kronik yang disertai refluks vesikoureter merupakan penyebab utama gagal ginjal pada anak-anak.
b. Nefrosklerosis Hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer atau penyakit ginjal kronik merupakan pemicu hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin mungkin juga melalui defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis (pasang ginjal) menunjukan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal sebagai akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi yang bukan orang kulit putih.
c. Glomerulonefritis
Glomerulonepritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai balam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan hematuria. Meski lesi terutama pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, mengakibatkan gagal ginjal kronik.
d. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal dapat membesar dan terisi oleh klompok-klompok kista yang menyarupai anggur. Perjalanan penyakit progresip cepat dan mengakibatkan kematian sebelum mencapai usia 2 tahun. Tanda dan gejala yang sering tampak adalah rasa sakit didaerah pinggang, hematutia, poliuria, proteinuria dan ginjal membesar teraba dari luar. Komplikasi yang sering terjadi adalah hipertensi dan infeksi saluran kemih. Penyakit ginjal polikistik merupakan penyebab ketiga tersering gagal ginjal stadium akhir.
e. Gout
Gout merupakan suatu penyakit metabolic yang ditandai oleh hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat plasma). Lesi utama pada gout terutama berupa endapan dan kristalisasi urat dan dalam cairan tubuh. Pada gout kronik endapan kristal urat dalam interstisium ginjal dapat menyebabkan nefritis interstisial, nefrosklerosis dan ginjal yang berjalan progresip lambat.
f. Diabetes mellitus
Nefropati diabetika merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang umum pada penderita diabetes militus. Lesi ginjal yang sering dijumpai adalah nefrosklerosis akibat lesi pada arteriola, pielonefritis dan nekrosis papila ginjal dan glomerulus sklerosis. Lesi tersebut disebabkan oleh peningkatan endapan matriks mesingeal. Membrane basalis perifer juga lebih menebal. Mula-mula lumen kapilet masih utuh tapi lambat laun mengalami obliterasi bersamaan dengan berlanjutnya penyakit.
g. Hiperparatirodisme
Hiperparatiroidisme primer akibat hipersekresi hormone paratiroid merupakan penyakit yang dapat menyebabkan nefrokalasinosis dan selanjutnya dapat menyebutkan gagal ginjal. Penyebab yang paling sering adalah adenoma kelenjar paratiroid.
h. Nefropati toksik
Ginjal rentan terhadap efek toksik, karena ginjal menerima 25 aliran darah dari curah jantung dan ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat. Sehingga insufiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.
4. Manifestasi Klinis
a. Sistem Gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea dan muntah karena gangguan metabolisme protein dalam usus, terbentuknya zat – zat toksik dari metabolisme bakteri usus seperti (amonia metil guanidin) serta sembabnya mukosa usus.
2) Uremik yaitu ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri dimulut menjadi amonia. Sehingga nafas berbau amonia. Akibat lain timbul stomatitis dan parotitis.
3) Gastritis erosif seperti ulkus peptikum dan klitis uremik.
b. Sistem Integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia
2) Gatal – gatal karena toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori – pori.
3) Ekimosis akibat gangguan hematologis.
4) Bekas garukan karena gatal.
c. Sistem Hematologi
1) Anemia
Penyebabnya yaitu berkurangnya produksi eritropoetin sehingga terjadi pengurangan eritropoesis pada sumsum tulang belakang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremik, defesiensi asam folat akibat nafsu makan yang berkurang, perdarahan pada saluran cerna dan fibrosis pada sumsum tulang akibat hipertiroid sekunder.
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang.
3) Gangguan fungsi leukosit
Hiperpigmentasi leukosit, pagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
d. Sistem Syaraf dan otot
1) Pegal pada tungkai bawah dan selalu menggerak – gerakkan kakinya (Restless leg syndrome).
2) Rasa kesemutan dan sepserti terbakar terutama pada telapak kaki (Burning feet syndrome).
3) Encefalopati metabolic seperti lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor dan kejang – kejang.
e. Sistem Kardiovaskuler
1) Hipertensi, akibat penimbunan cairan dari garam atau peningkatan aktivitas sistem renin – angiotensin – aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
3) Gangguan irama jantung, gangguan elektrolit.
4) Edema akibat penimbunan cairan
f. Sistem Endokrin
1) Gangguan seksual yaitu pada laki – laki libido menurun dan pada wanita gangguan menstruasi (amenore).
2) Gangguan toleransi glukosa.
3) Gangguan metabolisme lemak
4) Gangguan metabolisme Vitamin D.
g. Gangguan sistem lain
1) Tulang : osteodistrofi renal, osteomalasia, klasifikasi metastatik.
2) Asam basa : asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik.
3) Elektrolit : hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia.
5. Penatalaksanaan Konservatif Gagal Ginjal Akut
1) Memperlambat Progresi Gagal Ginjal.
a) Pengobatan hipertensi target penurunan tekanan darah yang dianjurkan lebih dari 140/90 mmHg.
b) Pembatasan asupan protein bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus.
c) Restriksi fosfor untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder.
d) Mengurangi proteinurea.
e) Mengendalikan hiperlipidemia.
2) Mencegah Kerusakan Ginjal Lebih Lanjut.
a) Pencegahan kekurangan cairan, dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gagal ginjal. Kelainan yang dapat ditemukan adalah penurunan tugor kulit, kulit dan mukosa kering, gangguan sirkulasi ortostatik, penurunan vena jugularis dan penurunan tekanan vena sentral merupakan tanda-tanda yang membantu menegakkan diagnosis.
b) Sepsis dan ISK akan memperburuk faal ginjal.
c) Hipertensi yang tidak terkendali. Kenaikan tekanan yang lanjut akan memperburuk fungsi ginjal. Tetapi penurunan tekanan darah yang berlebihan juga akan memperburuk fungsi ginjal. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah furosemial, obat penyekat beta, vasodilator, antagonis kalsium dan penghambat alfa. Dosis obat disesuaikan dengan GFR karena kemungkinan adanya akumulasi obat.
d) Obat-obat nefrotoksik seperti amino-glikosid, OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid), kontras radiology harus dihindari.
e) Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, memperburuk hipertensi dan meningkatkan kemungkinan terjadinya eklamsia. Resiko kehamilan meningkat apaabila kreatinin serum > 1.5 mg/dl dan apaabila kadar kreatinin serum > 3 mg/dl dianjurkan tidak hamil.
3) Pengelolaan Uremia dan Komplikasinya.
a) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien dengan gagal ginjal lanjut mengalami peningkatan jumlah cairan ekstraseluler karena retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskuler menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan ke ruang interstisial menyebabkan edema. Hiponatremi sering juga ditemukan pada kasus GGK lanjut akibat ekskresi air yang menurun oleh ginjal. Penatalaksanaan meliputi retraksi asupan cairan dan natrium serta pemberian terapi diuretic. Jenis diuretic yang menjadi pilihan adlah furosemid karena efek furosemid tergantung pada sekresi aktif ditubulus proksimal. Asupan cairan dibatasi < 1000ml/hari pada keadaan berat < 500 ml/hari. Natrium diberikan < 2-4 gram/hari.
b) Asidosis metabolic. Manifestasi timbul apabila GFR < 25 ml/menit. Diet rendah protein 0,6 gram/hari membantu mengurangi kejadian asidosis. Bila bikarbonat serum turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan substitusi alkali (tablet natrium bikarbonat).
c) Hiperkalemia terjadi akibat ekskresi kalium melalui urin berkurang, keadaan metabolic, makanan (pisang) dapat meningkatkan kadar kalium. Hiperkalemia dapat menimbulkan kegawatan jantung dan kematian mendadak akibat aritmia kordis yang fatal. Untuk mengatasi kegawatan akibat hiperkalemi dapat diberikan obat-obat berikut:
(1) Kalsium glukosa 10%, 10 ml darah waktu 10 menit IV.
(2) Bikarbonas natrikus 50-150 mEq IV dalam waktu 15-30 menit.
(3) Insulin dan glukosa 6 U insulin dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam.
(4) Kayexalate (resin pengikat kalsium) 25-50 gram oral atau rectal.
d) Diet rendah protein. Diet rendah protein akan mengurangi akumulasi hasil akhir metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik. Selain itu diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya glomerulosklerosis akibat meningkatnya beban kerja glomerulus (hiperfiltrasi glomerulus) dan fibrosis interstisial. Kalori diberikan 35 kal/kg BB, protein 0,6 gram/kg BB/hari.
e) Anemia, penyebab utama anemia pada GGK adalah defisiensi eritropoetin. Penyebab lainnya adalah perdarahan gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek dan adanya hambatan eritropoiesis, malnutrisi dan defisiensi besi..
6. Kalsium dan Fosfor.
Untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor (daging dan susu). Apabila GFR < 30 ml/menit,diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat serta pemberian vitamin D yang bekerja meningkatkan absorbsi kalsium di usus.
7. Hiperuresemia. Penatalaksanaan konservatif dihentikan apabila pasien sudah memerlukan dialysis tetap atau transplantasi.
B. HEMODIALISA
1. Pengertian
Hemodialisa berasal dari bahas Yunani hemo berarti darah dan dialisis berarti pemisahan atau filtrasi. Secara klinis hemodialisis adalah suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksik) dari darah melalui membran semipermeabel buatan (artificial) di dalam ginjal buatan yang disebut dialiser, dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis yang disebut dialisat.
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat.
(DR. Nursalam M. Nurs, 2006).
Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membrane yang selektif-permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi. Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk keracunan.
(Christin Brooker, 2001).
Dialisis adalah proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan fungsi ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan akumulasi toksin endogen atau eksogen. Dialisis paling sering digunakan untuk pasien dengan penyakit ginjal akut atau kronis (tahap akhir).
(Doenges, 2000)
2. Prinsip Kerja / Mekanisme Hemodialisis
Mekanisme pemisahan zat – zat terlarut pada hemodialisis terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi.
1) Secara difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut. Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama dikedua kompartemen (dari yang konsentrasi tinggi kekonsentrasi rendah)
2) Secara ultrafiltrasi
Pemisahan cairan dialisis dan darah dilakukan dengan prinsip perbedaan tekanan. Tiga tipe dari tekanan yng dapat terjadi pada membrane adalah:
a) Tekanan positif
Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resistensi vena terhadap darah yang mengalir balik kefistula. Tekanan positif “mendorong“ cairan menyeberangi membrane.
b) Tekanan negative
Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane. Tekanan negative “menarik “ cairan keluar dari darah.
c) Tekanan Osmotik
Tekanan Osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut tinggi akan menarik cairan dari larutan lain yang konsentrasinya lebih rendah sehingga menyebabkan membrane permiabel terhadap air (dari konsentrasi rendah kekonsentrasi tinggi). Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
3) Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut
3. Tujuan Hemodilisa
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan
4. Indikasi dan kontra indikasi hemodialisa
a. Indikasi :
1) Klien dengan syndrome uremik/azotemia (gagal ginjal akut dan kronik), ureum > 200 mg/dl dan kreatinin > 1,5 mg/dl
2) Hiperkalemia, kadar kalium > 5,0 mEq/L
3) Asidosis, pH darah < 7,1
4) Kelebihan cairan
5) Dehidrasi berat
6) Keracunan barbiturate
7) Leptospirosis
b. Kontraindikasi :
Kontraindikasi untuk dialisa menurut PERNEFRI (2003: 290), antara lain :
1) Tidak mungkin didapatkan akses vaskular pada hemodialisa atau terdapat gangguan di rongga peritoneum pada CAPD ( Contious Ambulatory peritoneal Dialysis).
2) Dialisa tidak dapat dilakukan pada keadaan :
a) Akses vaskular sulit.
b) Instabilitas hemodinamik.
c) Koagulopati.
d) Penyakit Alzheier.
e) Dementia multi infark.
f) Sindrom hepatorenal.
g) Sirosis hati berlanjut dengan enselopati.
h) Keganasan lanjut.
5. Proses Hemodialisa
1) Persiapan
a) Persiapan alat
(1) Dialiser (ginjal buatan)
(2) AVBL
(3) Set Infus
(4) NaCl (cairan fisiologis) (2-3 fflashf)
(5) Spuit ,5 cc, 20 cc, 3 cc
(6) Heparin injeksi (+ 2000 Unit)
(7) Jarum punksi :
(a) Jarum metal (AV. Fistula G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inch.
(b) Jarum dengan katheter (IV Catheter G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inchi.
(8) Penapung cairan (Wadah)
(9) Anestesi local (lidocain, procain)
(10) Kapas Alkohol
(11) Kassa
(12) Desinfektan (alcohol bethadin)
(13) Klem arteri (mosquito) 2 buah.
(14) Klem desinfektan
(15) Bak kecil + mangkuk kecil
(16) Duk (biasa, split, bolong)
(17) Sarung tangan
(18) Plester
(19) Pengalas karet atau plastik
b) Persiapan lingkungan
(1) Lingkungan disiapkan agar nyaman dan tenang
(2) Jaga privacy klien
(3) Atur tempat tidur sesuai dengan kenyamanan pasien
c) Persiapan Klien
(1) Jelaskan prosedur tindakan hemodialisis
(2) Timbang berat badan klien
(3) Anjurkan pasien mencuci tangan
(4) Atur posisi klien agar memudahkan tindakan dan nyaman untuk klien
(5) Observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum
d) Persiapan perawat
(1) Perawat membaca order atau catatan medik klien
(2) Perawat mencuci tangan
(3) Perawat memakai sarung tangan dan masker.
2) Prosedur Tindakan
Penatalaksanaan hemodialisis dibagi dalam tiga tahap yaitu :
Perawatan Sebelum Hemodialisa
a) Menyiapka mesin hemodialisis
(1) Sambungkan slang air dari mesin hemodialisis
(2) Kran air dibuka
(3) Pastikan slang pembuang air dari mesin hemodialisis sudah masuk kelubang/saluran pembuangan.
(4) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak (sebelumnya periksa voltage listrik).
(5) Hidupkan mesin dengan menekan tombol on yang ada dibelakang mesin.
(6) Jelaskan mesin pada posisi rinse selama + 20 menit (sesuai program penggunaan mesin).
(7) Matikan mesin hemodialisis
(8) Masukkan slang dialisat kedalam jerigen dialisat pekat.
(9) Sambungkan slang dialisat dengan konector yang ada pada mesin hemodialisis
(10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siapkan)
b) Menyiapkan sirkulasi darah :
(1) Bukalah alat-alat dialysis dari setnya.
(2) Tempatkan dializer pada holder (tempatnya) dengan posisi “inlet” (tanda merah) diatas dan posisi “outlet” (tanda biru) dibawah.
(3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inlet” dari dializer.
(4) Hubungkan ujung biru dari VBL dengan ujung “outlet: dari dializer dan tempatkan bubble trap diholder dengan posisi tegak.
(5) Set infuse ke botol aCL 0,.9% - 500 cc
(6) Hubungkan set infuse keselang arteri.
(7) Bukalah klem NaCl 0.9%, isi selang arteri sampai keujung selang lalu klem.
(8) Tempatkan ujung biru VBL pada maatkan dan hindakan kontaminasi.
(9) Memutar letak dializer dengan posisi “inlet” dibawah dan “outlet” diatas, tujuannya gar dializer bebas dari udara.
(10) Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
(11) Buka klem dari infuse set, ABL, VBL
(12) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
(13) Isi bubble trap dengan NaCl 0.9% sampai ¾ bagian
(14) Memberikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengeluarkan udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dializer bebas udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
(15) Melakukan pembilasan dan pengisian dengan menggunakan NaCL 0.9% sebanyak 500 CC yang terdapat pada botol (Kolf), sisanya tampung dalam gelas ukur.
(16) Ganti kolf NaCL 0.9% yang kosong dengan kolf NaCL 0.9% baru.
(17) Sambung ujung biru VBL dan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
(18) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit untuk dializer baru, 15-20 menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit, berikan UFR 0.8 – 1.0
(19) Mengembalikan posisi dializer ke posisi semula, dimana “inlet” dialisat selama 5-10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
c) Punksi Cimino/Graft
(1) Persiapan alat-alat
(a) 1 buah set steril dialysis terdiri dari :
- Kain alas dan set steril kain 1 buah
- Kassa 5 buah, tuffer 1 buah
- 1 buah mangkok kecil berisi NaCL 0.9%
- 1 pasang sarung tangan
- 1 buah 5 cc berisi NaCL 0.9%
- 2 buah AV fistula
(b) 2 buah mangkok steril berisi btadin dan alcohol
(c) Masker dan apron
(d) Plester / micropore
(e) 1 buah gelas ukur
(f) Arteri klem
(g) Plastic untuk alat kotor
(h) Trolly
(2) Memulai desinfektan caranya :
(a) Jepitlah tuffer betrdine dengan arteri klem, oleskan daerah cimino dan vena lain dengan cara memutar dari dalam ke luar.
(b) Masukkan tuffer kedalam kantong plastic.
(c) Jepitlah kassa alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah cimino dan vena lain caranya sama seperti diatas.
(d) Lakukan sampai bersih
(e) Letakkan kassa kotor pada plastic, sedangkan klem arteri letakkan pada gelas ukur.
(f) Letakkan kain alas steril dibawah tangan
(g) Letakkan kain belah steril diatas tangan.
(3) Memasukkan jarum AV Fistula :
(a) Masukkan jarum AV Fistula pada tusukan yang telah dibuat pada saat pemberian anestesi lokal (cimino)
(b) Setelah darah keluar isaplah dengan spuit 5 ml dan bilas kembali dengan NaCL 0.9% secukupnya.
(c) AV Fistula diklem, spuit 5 ml dilepaskan, ujung AV Fistula ditutup, tempat tusukan difikasi dengan micropore/plester.
(d) Masukkan jarum AV Fistula pada vena lain, sesuai pada tempat pemberian anestesi lokal caranya sama seperti diatas pada no. a
(e) Tinggalkan kain alas steril dibawah tangan pasien, sebagai alas dan penutup selama proses dialysis berlangsung.
(f) Alat kotor masukkan ke dalam plastic, sedangkan alat-alat yang dapat dipakai kembali dibawa ke ruang disposal.
(g) Bedakan dengan alat-alat yang terkontaminasi.
(h) Bersihkan dari darah, masukkan ke kantong plastik.
Memulai Pelaksanaan Hemodialisis
a) Lakukan tindakan aseptik dan anti-septik dengan membersihkan tempat yang akan dilakukan penusukkan dengan betadine 10%, kemudian dibersihkan dengan alcohol 70%.
b) Depper dan kassa yang telah dipakai, dibuang ketempat sampah yang telah disediakan.
c) Cari daerah yang lebih mudah dilakukan penusukkan.
d) Jarak penusukkan pertama kali pada daerah vena (outlet) disertai pemberian loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
e) Lakukan penusukan pertama kali pada daerah vena (outlet0 disertai pemberian loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
f) Kemudian dilakukan penusukkan pada daerah “inlet” dengan ABL (arteri blood line) dan dijalankan blood pump dengan kecepatan mulai dari 100 ml/menit sampai seluruh blood line (baik ABL maupun VBL) terisi penuh, baru disambungkan dengan bagian jarum fistula “outlet”.
g) Jalankan lagi blood pump perlahan-lahan sampai 200 ml/menit, setelah itu mulailah pemasangan sensor dan batasan minimal dan maksimal baik pada blood monitoring maupun dialisat monitoring.
h) Kemudian set mesin hemodialisis sesuai program HD masing-masing pasien.
i) Matikan (tutup) klem infuse NaCL.
j) Sambungkan jarum AV Fistula dengan selang arteri, bersihkan kedua sambungan dengan kassa betadine.
k) Bukalah masing-masing klem pada AV Fistula dengan aterial
Mulai dialysis berjalan :
a) Hidupkan pump, mulailah putar dari 100 ml/menit, dinaikkan secara bertahap sampai batas maksimal.
b) Mengalirkan darah untuk mengisi selang arterial dan dialiser.
c) Perhatikan aliran darah pada cimino/graft apakah lancar.
d) Jika aliran darah tersendat-sendat,cobalah memutar posisi jarum AV Fistula secara perlahan-lahan sampai aliran darah lancar.
e) Darah pada bubble trap tidak boleh penuh/kosong, sebaiknya ¾ bagian.
f) Tekan tombol start heparin
g) Mengatur kecepatan pemberian, heparin selama dialysis berlangsung
h) Bukalah klem pada selang urea, sebagai venous pressure.
i) Tekan tombol start sambil melihat jam, tanda proses dializer dimulai.
j) Putar tombol UF, tertekan UF yang dihitung.
k) Fiksasi pada sambungan antara AV Fistula dengan selang darah.
Pengawasan selama hemodialisis berlangsung
a) Observasi tanda-tanda vital tiap jam, tensi dan nadi, kemungkinan komplikasi selama HD : mual, kram otot dan keluhan lain. kecuali keadaan pasien jelek, obersvasi sesuai dengan kebutuhan :
(1) Jika pasien sesak, hitung pernafasan.
(2) Jika pasien demam, ukur suhu badan
b) Menjaga ketepatan pencatatan dalam lembaran dialysis
c) Pengawasan Mesin :
Pengawasan sirkulasi darah diluar ekstrakorporeal blood monitoring :
- Pengawasan kecepatan aliran darah
- Pengawasan terhadap tekanan :
Arteri : Bila alarm berbunyi pada aterial druk berarti tekanan darah rendah, lihat aliran darah pada “inlet”.
Venous pressure : dilihat dari indikator (hati-hati bila tinggi), bila tinggi periksa “outlet”, bila rendah periksa sensor vena.
d) Pengawasan heparin pump.
e) Pengawasan terhadap sirkulasi dialisat monitoring
(1)Kebocoran dializer (blood leak)
(2)Low temperature atau high temperature
(3)Low conductivity atau high conductivity
(4)Transmembrane pressure
(5)Positive pressure
f) Perhatikan kelancaran aliran darah pada cimino/graft.
g) Perhatikan sambungan yang terdapat pada :
(1)AV Fistula dengan selang arteri
(2)Selang arteri dengan dializer dan sebaliknya, kalau perlu dikembangkan.
h) Berikan pasien posisi tidur yang nyaman.
i) Perhatikan edema pada : muka, punggung tangan, asites, mata kaki dan daerah dorsum pedis :
(1)Jika edema (+) tidak disertai sesak nafas maka lakukan dialysis sesuai dengan program tarik air (UFG = ultrafiltrasi goal). Cara perhitungan tarik air : selisih berat badan, dating berat badan standar + jumlah intake yang masuk (minum, infuse, transfuse dan sonde).
(2)Jika edema ++ atau lebih, dengan disertai sesak nafas maka lakukan tarik air (sequential ultrafiltrasi) pada awal dialysis.
j) Perhatikan pemakaian oksigen :
(1)Apakah oksigen masih ada (lihat pada jarum petunjuk)
(2)Perhatikan bila pada angka petunjuk oksigen, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan pasien.
k) Perhatikan gambaran EKG monitor, jika ada kelainan direkam dan beritahu pada dokter yang merawat pasien/dokter jaga.
l) Bantu segala kebutuhan pasien termasuk : makanan, minuman, buang air dan urinaria.
m) Kaji keluhan pasien, kalau perlu terapi beritahu dokter.
n) Evaluasi hasi tindakan dialysis.
o) Tindakan atau obat-obatan yang telah diberikan, catalah dalam catatan keperawatan.
Mengakhiri Dialisis
a) Mengakhiri dialysis:
(1) Hentikan pump heparin dan lepaskan spuit heparin dari tempatnya.
(2) Kecilkan pompa darah (BP) sampai 100 cc dan matikan.
(3) Klem pada AV Fistula dan selang arterial
(4) Lepaskan sambungan AV Fistula dan selang arterial dengan kassa steril.
b) Membilas AV Fistula :
Gunakan spuit 5 cc berisi NaCL, bilas AV Fistula sampai bersih, lalu klem kembali dan tutup ujung AV Fistula.
c) Membilas selang darah dan dialiser :
(1) Bilas selang darah dan dialiser dengan NaCL sampai darah tidak ada lagi.
(2) Jika ada obat-obatan injeksi yang akan diberikan, berikan melalui selang vena.
(3) Selama pembilasan, gunakan pump dengan kecepatan 100 ml/menit.
(4) Menyelesaikan dialysis
(5) Selang pada vena diklem, lepaskan dari mesin.
(6) Lepaskan semua selang darah dan dialiser dari mesin, masukkan ke dalam plastik.
d) Melepaskan jarum AV Fistula
(1) Cabut AV Fistula pada cimino dan AV Fistula pada vena lainnya, masukkan AV Fistula ke dalam plastik.
(2) Tekan bekas tusukan dengan kassa betadine sampai darah tidak keluar lagi.
(3) Berikan masing-masing bekas tusukan dengan band aid dan balutlah sesuai dengan kebutuhan, lalu difiksasi dengan micropore.
e) Mengembalikan alat-alat :
(1) Alat instrument yang telah digunakan dipisahkan dibawa ke disposal room dan dipisahkan dengan alat yang terkontaminasi.
(2) Perawat melepas sarung tangan, masker dan apron.
(3) Perawat mencuci tangan.
6. Komplikasi Hemodialisa
a. Hipotensi terjadi ketika cairan dikeluarkan
b. Emboli udara (komplikasi jarang) jika udara memasuki vaskular pasien
c. Nyeri dada akibat penurunan pCO2 bersamaan dgn terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh
d. Pruritus dapat terjadi ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit
e. Ggn keseimbangan dialisis tjd akibat perpindahan cairan serebral dan munculnya sbg serangan kejang
f. Kram otot dan nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel
g. Mual dan muntah (Smeltzer, 2001:1401).
7. Akses Vascular
Akeses vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Untuk melakukan dialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan masuk ke sistem vaskular penderita yang dapat di andalkan. Darah harus dapat keluar dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-teknik akses vaskuler utama untuk hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses internal (Price, 1995). Akses vascular sangat diperlukan oleh karena untuk hemodialisis yang efektif diperlukan aliran darah yang cukup sampai lebih dari 300 ml/menit dan dapat dipakai berulang kali dalam jangka waktu yang panjang.
Ada 2 macam akses vascular yaitu :
b. Akses vascular sementara atau kontemporer
Akses vascular ini biasanya digunakan pada saat pertama kali hemodialisis sebelum dibuat akses vascular yang permanent. Akses vascular sementara umumnya dilakukan dengan menggunakan kateter perkutan kedalam vena jugularis, femoral atau yang saat ini dihindari adalah pada vena subclavia.
Keuntungan akses vascular sementara adalah :
1) Pada vena jugularis interna : dapat digunakan untuk jangka panjang dengan resiko yang kecil
2) Pada vena femoralis : pemasangan mudah dengan resiko yang kecil
3) Pada vena subclavia : klien merasa lebih nyaman dan penggunaanya lebih lama
Kerugian akses vascular sementara adalah :
1) Pada vena jugularis : pemasangan lebih sulit
2) Vena femoral : immobilisasi pasien, resiko infeksi lebih tinggi
3) Vena subclavia : komplikasi stenosis vena dan resiko komplikasi pemasangan.
c. Akses vascular menetap/permanent
Akses vascular menetap dilakukan dengan membuat fistula atau hubungan (shunt) antara arteri dengan vena yang biasa disebut AV shunt. Dapat dilakukan dengan vena dan arteri pasien sendiri, memakai vena dari tempat lain (native graft) atau dengan bahan buatan (artificial graft)
AV shunt dilakukan dengan cara menyambung arteri subcutan dengan vena didekatnya. Vena yang berdinding tipis dialiri oleh darah arteri yang bertekanan tinggi sehingga aliran darah lebih cepat. Cara ini sangat sering digunakan dan paling aman, bertahan lama, dan dengan komplikasi yang minimal (stenosis, infeksi, steal syndrome). Namun ada beberapa kerugian dari AV shunt yaitu ; memerlukan waktu cukup lama untuk siap dipakai, cukup sering kegagalan atau kurang dapat memberikan aliran darah yang cukup pada saat hemodialisis serta pada klien dengan penyakit vascular yang berat tidak dapat dilakukan.
Lokasi yang sering digunakan :
1) Pergelangan tangan (fistula radio chepalic/Brescia cimino)
2) Daerah siku/elbow (fistula brachio chepalic)
Fistula umumnya dilakukan pada tangan yang non dominant dengan maksud tidak mengeurangi aktivitas klien.
Proses maturasi AV shunt antara 1- 6 bulan dan pada tangan tersebut tidak dapat dilakukan penekenan berlebihan atau untuk mengambil sampel darah. Periksa suara bising atau thrill setiap hari dan posisikan tangan lebih tinggi dari badan pada saat pasca operasi
8. Dializer
Komponen ini terdiri dari membran dialiser semipermiabel dengan lokasi yang tersebar merata yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Darah banyak mengandung zat-zat toksik secara berlebihan sedangkan dialiser tidak mengandung apapun kecuali elektrolit tertentu.
Ada 3 macam dialiser yaitu :
a. Selulosa yang dibuat dari serat kapas yang diproses
b. Serat selulosa yang dimodifikasi dengan menambah gugus asetat seperti selulosa diasetat atau triaset
c. Membran sintetis seperti membrane polisulfon, polyacryionitril (PAN), policarbonat. Dimana membrane ini mempunyai klirens dan filtrasi yang besar.
Berbagai sifat dari dialiser dipengaruhi oleh:
a. Luas permikaan dialiser
b. Ukuran pori-pori atau kemampuan permeabilitas ketipisannya
c. Koefisian ultrafiltrasi
d. Kemampuan untuk mencegah terjadinya clotting sehingga pemakaian antikoagulasi yang minimal
e. Harga
9. Dializat
Larutan dialisat biasanya disiapkan dalam bentuk konsentrasi yang mengandung buffer bikarbonat atau asetat.
a. Dialisat Asetat
Dialisat Asetat masih banyak digunakan untuk dialisat karena dapat diproduksi dengan mudah dalam kemasan yang mengandung berbagai macam elemen. Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat standard untuk mengoreksi asidosis uremikum dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat secara difusi selama HD. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang cair dan relatif stabil. Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat asetat harganya lebih murah tetapi efek sampingnya lebih banyak. Efek samping yang sering seperti mual, muntah, kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan hemodinamik, hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu, intoleransi glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin. Kemudian seiring berkembangnya waktu, larutan bicarbonate lebih banyak digunakan karena lebih fisiologis, dapat mengontrol asidosis dengan lebih baik,lebih sedikit menimbulkan efek dan komplikasi.
2. Dialisat Bikarbonat
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam dan larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak termasuk dalam konsentrat bikarbonat oleh karena konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium dan bikarbonat dapat membentuk kalsium dan magnesium karbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba karena konsentratnya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi ini dapat diminimalisir dengan waktu penyimpanan yang singkat. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut. Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun relatif tidak stabil. Biaya untuk sekali HD bila menggunakan dialisat bikarbonat relatif lebih mahal dibanding dengan dialisat asetat.
Adapun komposisi dialisat asetat dan bikarbonat adalah sebagai berikut:
§ Natrium = 135 – 145 meg / 1
§ Kalium = 0 – 4,0 meg / 1
§ Calsium = 2,5 – 3,5 meg / 1
§ Magnesium = 0,5 – 2,0 meg / 1
§ Khlorida = 98 – 112 meg / 1
§ Asetat atau bikarbonat = 33 – 25 meg / 1.
§ Dextrose = 2500 mg / 1
10. Ultraviltrasi Cairan
Ultrafiltrasi: membuang kelebihan air dari tubuh. Menggunakan cara konveksi.
Cara hemodialisis bisa membuang kelebihan air, elektrolit, dan sisa metabolism:
Difusi: perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke larutan dengan konsetrasi rendah
Konveksi: larutan berpindah dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. Ini prinsip dari ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi: produksi kelebihan air dari tubuh dengan menggunakan cara konveksi: perpindahan zat pelarut (sbgn zat terlarut terbawa), melalui membran, akibat energi hidrostatik yg bekerja pada membran
Proses ini dilakukan dgn membuat tekanan positif pada kompartemen darah dan tekanan negatif pada kompartemen dialisat, sehingga air didorong menuju cairan dialisat.Ultrafiltrasi bisa diatur tergantung kebutuhan, sesuai kelebihan volume penderita.
11. Heparin (Antikoagulan)
Akibat adanya sirkit ekstrakorporeal pada hemodialisis memungkinkan terjadinya Kontak antara darah dengan permukaan saluran sintetik pada hemodialisis mengakibatkan terjadinya pembekuan darah sehingga perlu digunakan Antikoagulasi dengan heparin agar memungkinkan hemodialisis berjalan dengan lancar.
Heparin merupakan mukopolisakarida sulat anionic dengan berbagai berat molekul yang diekstraksi dari paru sapi atau usus babi. Heparin teerikat pada antitrombin- III, yang kemudian membentuk kompleks dengan protease serine mengaktifasi faktor-faktor koagulasi. Waktu paru pada pasien normal dan pasien hemodialisis adalah 30-120 menit dan dapat lebih panjang lagi dengan disosiasi heparin komplek AT-III.
Menilai koagulasi pada pasien hemodialiss dengan mengamati secara visual dengan memperhatikan tanda-tanda sebagai berikut :
a. Warna darah gelap sekali
b. Adanya garis-garis hitam atau gelap pada dialiser
c. Busa dan butir bekuan pada venous trap
d. Adanya bekuan darah
Pemeriksaan yang juga sering dipakai adalah memeriksa clotting time
12. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul Pada Pasien Hemodialisa
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan diparu (overload)
ditandai dengan Pernapasan cuping hidung, Sianosis, RR > 30 X menit
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan yang melemah ditandai dengan oedema dan peningkatan berat badan di atas normal.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik oleh karena punksi selama HD ditandai dengan Ekspresi wajah meringis dan gelisah.
d. Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang HD ditandai dengan kurang informasi tentang HD, Klien tampak cemas dan bingung
d. Risiko syock hipovolemik berhubungan dengan efek ultrafiltrasi selama HD ditandai dengan klien mengatakan mata kabur dan berkunang-kunang, badan pasien lemas, klien berkeringat dingin, akral dingin,nadi tidak teraba,TD turun sampai 60/ PP
e. PK : Hemoragic ditandai dengan pusing, Klien pucat, akral dingin, nadi tidak teraba, TD sampai dengan 60/PP
f. Risiko cidera berhubungan dengan gelisah akibat prosedur HD ditandai dengan klien tampak gelisah selama proseddur HD
g. Syndrome kurang perawatan diri makan dan toileting berhubungan dengan pemasangan alat dyalisis
ditandai dengan pergerakannya terbatas karena terpasang set dyalisis
h. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive ditandai dengan terdapat luka bekas punksi pada akses vascular klien
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta. EGC.
Guyton & Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC.
Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik edisi 4 volume 2. Jakarta. EGC.
Nursalam, M.Nurs, DR (Hons). 2006. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer, Zusanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta, EGC.
Available at www.wartamedika.com 11 Maret 2009
Available at www.wikipedia.com 11 Maret 2009
No comments:
Post a Comment