Intisari
Demam berdarah atau Dengue Hemorarrgic Fever merupakan penyakit yang di sebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk aedes aegepti.
Di indonesia kejadian demam berdarah masih banyak terjadi. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada daerah beriklim tropis. Penyakit demam berdarah sering menyerang anak-anak di bawah 15 tahun.
Gejala penyakit ini yaitu demam, disertai nyeri otot, terdapat bintik merah pada kulit.
Cara penangan dari Demam Berdarah atau DHF ini yaitu dengan cara memberikan cairan kepada pasien dan mempertahankan status cairan pasien.
Video Proses Terjadinya Demam Berdarah ^^
Berikut ini merupakan konsep Dari Dengue Hemoarrgic Fever atau demam berdarah di rangkum dalam Laporan Pendahuluan Dengue Hemorarrgic Fever/Demam berdah.
BAB I KONSEP DASAR
A. ANATOMI FISIOLOGI
Darah adalah kendaraan atau medium untuk transportasi massal jarak jauh berbagai bahan antara sel dan lingkungan eksternal atau antara sel-sel itu sendiri.
Transportasi semacam itu penting untuk memelihara homeostatis. Darah terjadi dari cairan kompleks, yaitu plasma tempat unsur-unsur sel eristrosit, leukosit dan trombosit terbenam di dalamnya.
Eritrosit (sel darah merah) atau SDM pada dasarnya adalah suatu kantung hemoglobin yang terbungkus membran plasma yang mengangkut O2 dan CO2 (dalam tingkat yang lebih rendah) di dalam darah. Leukosit (sel darah putih) SDP, unit ini pertahanan sistem imun diangkut dalam darah ke tempat-tempat cidera atau invasi mikroorganisme penyebab penyakit.
Karena darah sangat penting sangat penting, harus terdapat mekanisme yang dapat memperkecil kehilangan darah apabila terjadi kerusakan pembuluh darah. Trombosit (keping darah) penting dalam hemostatis, penghentian perdarahan dari sutu pembuluh yang cidera.
Darah membentuk sekitar 8% dari berat tubuh total dan memiliki volume rata-rata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria. Darah terdiri dari tiga jenis unsur sel khusus, eritrosit, leukosit, trombosit, yang terendam dalam cairan kompleks plasma. Pergerakan konstan darah sewaktu mengalir melalui pembuluh menyebabkan unsur-unsur sel tersebar relatif merata di dalam plasma. Namun, apabila suatu sampel darah utuh ditaruh dalam sebuah tabung reaksi dan diberi zat untuk mencegah pembekuan, unsur-unsur sel yang lebih berat akan secara perlahan mengendap di dasar dan plasma yang lebih ringan naik ke bagian atas. Proses ini dipercepat oleh pemusungan (centrifugasi), yang dengan cepat menyebabkan sel-sel mengendap di dasar tabung. Karena lebih dari 99% sel adalah eritrosit, hematokrit, atau packed cell volum pada dasarnya mewakili presentasi volume darah total yang ditempati oleh eritrosit. Plasma membentuk volume sisanya. Hematokrit pada wanita rata-rata adalah 42% dan pria sedikit lebih tinggi, yaitu 48%,sedangkan volume rata-rata yang ditempati oleh plasma pada wanita adalah 58% pada pria 55%. Sel darah putih dan trombosit yang tidak berwarna dan kurang padat dibandingkan dengan eritrosit mengendap membentuk sebuah lapitas tipis berwarna krem ‘buffu coal’ di atas kolom sel darah merah. Lapisan ini menempati kurang dari 1% volume darah total.
Unsur-unsur darah:
1. Plasma
Plasma karena berupa cairan, 99% terdiri dari air yang berfungsi sebagai medium untuk mengangkut berbagai bahan dalam darah. Selain itu, karena air memiliki kemampuan menahan panas dengan kapasitas tinggi. Plasma mampu menyerap dan mendistribusikan banyak panas yang dihasilkan oleh metabolisme di dalam jaringan sementara suhu darah itu sendiri hanya mengalami sedikit perubahan. Energi panas yang tidak diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh dikeluarkan ke lingkungan ketika darah mengalir ke permukaan kulit.
Protein plasma adalah sekelompok konstituen plasma yang tidak sekedar diangkut. Komponen-komponen penting ini dalam keadaan normal tetap berada dalam plasma, tempat mereka melakukan banyak fungsi bermanfaat. Karena merupakan konstituen plasma berukuran terbesar. Protein-protein plasma biasanya tidak keluar dari pori-pori di dinding kapiler. Juga tidak seperti konstituen plasma lainnya yang larut dalam air plasma, protein plasma berada dalam disversi koloid.
2. Eritrosit
Setiap mililiter darah mengandung rata-rata 5 milyar eritrosit (sel darah merah), yang secara klinissering dilaporkan dalam hitung sel darah merah sebagai 5 juta/mm3. Eritrosit adalah sel gepeng berbentuk piringan yang di bagian tengah kedua sisinya mencekung, seperti sebuah donat dengan bagian tengah menggepeng bukan berlubang (eritrosit adalah lempeng bikonkaf dengan garis tengah 8mm).
3. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak (mobil) dalam sistem pertahanan tubuh. Imunitas mengacu pada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi sel abnormal atau benda asing yang berperan merusak. Leukosit dan turunnya berperan dalam:
Menahan invasi oleh patogen (mikroorganisme penyebab infeksi) misalnya bakteri virus melalui proses fagositosis. Mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker yang muncul di dalam tubuh.
Berfungsi sebagai ‘petugas pembersih’ yang membersihkan ‘sampah’ tubuh dengan memfagosit debris yang ebrasal dari sel yang mati atau cidera. Yang terakhir ini penting dalam penyembuhan luka dan perbaikan jaringan.
Jenis-jenis leukosit yaitu:
a. Neutrofil
b.Eosinofil
c. Basofil
d. Monosit
e. Limfosit
4. Trombosit
Selain eritrosit dan leukosit, trombosit adalah jenis unsur ketiga yang terdapat di dalam darah. Trombosit bukanlah suatu sel utuh tapi fragmen atau potongan kecil sel (bergaris tengah sekitar 2-4 mm yang terlepas dari tepi luar suatu sel besar (bergaris tengah sampai 60 mm) disusun tulang yang dikenal sebagai megakariosit berasal dari sel bakal yang belum berdifferensiasi (undifferensiasi) yang sama dengan yang menghasilkan turunan eritrosit dan leukosit. Trombosit pada dasarnya adalah suatu vesikel yang mengandung sebagian dari sitoplasma megakarosit terbungkus oleh membran plasma.
Dalam setiap mililiter darah pada keadaan normal terdapat sekitar 250.000 trombosit (kisarannya 150.000-350.000/mm3). Trombosit tetap berfungsi selama sekitar sepuluh hari untuk kemudian disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag jaringan, terutama makrofag yang terdapat di dalam limpa dan hati dan diganti oleh trombosit baru yang dikeluarkan dari sumsum tulang.
Trombosit tidak keluar dari pembuluh darah seperti yang dilakukan oleh pembuluh darah seperti yang dilakukan oleh sel darah putih, tetapi sekitar sepertiga dari trombosit total selalu tersimpan dalam rongga-rangga berisi darah di limpa. Simpanan trombosit ini dapat dikeluarkan dari limpa ke dalam sirkulasi sesuai dengan kebutuhan (misalnya pada saat terjadi perdarahan) oleh kontraksi limpa yang diinduksi oleh stimulasi simpatis.
Karena merupakan fragmen sel, trombosit tidak memiliki nukleus. Namun, sel ini diperlengkapi oleh organel dan sistem enzim sitosol untuk menghasilkan energi dan mensintesis produk skretorik yang disimpan di granula-granula yang tersebar di seluruh sitosolnya. Selain itu trombosit mengandung aktin dan miosin dalam konsentrasi yang tinggi sehingga trombosit dapat kontraksi. Kemampuan sekretorik dan berkontraksi ini penting dalam homeostatis.
B. DEFINISI
Dengue haemorrahagic (DHF) atau Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegepti. Penyakit ini dapat menyeraang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak. Penyakit ini juga sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Nursalam, 2005).
Demam dengue adalah contoh dari penyakit yang disebarkan oleh vektor. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang disebarka melalui populasi manusia yaitu oleh nyamuk aedes aegypti. Nyamuk hidup didaerah tropis dan berkembang biak pada sumber air yang pendek (Brunner&Sudart, 2002).
C. EPIDEMIOLOGI
Wabah Dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia dan selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai Dengue telah digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim sedang. Vektor penyakit ini berpindah dan memindahkan penyakit dan virus Dengue melalui transportasi laut. Seorang pakar bernama Rush telah menulis tentang Dengue berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di Philadelphia tahun 1780. Kebanyakan wabah ini secara klinis adalah demam Dengue walaupun ada beberapa kasus berbentuk haemorrhargia. Penyakit DBD di Asia Tenggara ditemukan pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958 (Soegijanto S., Sustini F, 2004) dan dilaporkan menjadi epidemi di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965), dan Calcutta (1963) (Soedarmo, 2002).
DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh tahun 1970. Kasus pertama di Jakarta dilaporkan tahun 1968, diikuti laporan dari Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972) (Soedarmo, 2002). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973), serta Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (1974). DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia sejak tahun 1997 dan telah terjangkit di daerah pedesaan (Suroso T, 1999). Angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1983), dan mencapai angka tertinggi tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang (Soegijanto S., 2004).
Selama awal tahun epidemi di setiap negara, penyakit DBD ini kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur kurang dari 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai negara melaporkan bahwa kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi kejadian luar biasa (Soegijanto S., 2004).
Jumlah kasus dan kematian Demam Berdarah Dengue di Jawa Timur selama 5 tahun terakhir menunjukkan angka yang fluktuatif, namun secara umum cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 dan 2004 terjadi lonjakan kasus yang cukup drastis karena adanya KLB, yaitu tahun 2001 sebanyak 8246 penderita (angka insiden: 23,50 per-100 ribu penduduk), dan tahun 2004 (sampai dengan Mei) sebanyak 7180 penderita (angka insidens: 20,34 per 100 ribu penduduk). Sasaran penderita DBD juga merata, mengena pada semua kelompok umur baik anak-anak maupun orang dewasa, baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan, baik orang kaya maupun orang miskin, baik yang tinggal di perkampungan maupun di perumahan elite, semuanya bisa terkena Demam Berdarah (Huda AH., 2004).
Case Fatality Rate penderita DBD pada tahun 2004 sebesar 0,7 dan insidence rate sebesar 45. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus, prevalensi serotipe virus Dengue, dan kondisi metereologis. DBD secara keseluruhan tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki (Soegijanto S., 2003; Soegijanto S., Sustini F., 2004). Distribusi umur pada mulanya memperlihatkan proporsi kasus terbanyak adalah anak berumur 15 tahun.
D. ETIOLOGI
Virus Dengue termasuk kedalam arbovirus (arthropodborn virus) group B. Vektor utamanya adalah nyamuk adec aegypti disamping pula aedec albopictrs. Menurut Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi III bahwa etiologi dari Dengue Haemorrhgie Fever dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk kedalam arbovirus (arthopodborn virus) group B dari tipe virus dengue tipe 1, 2, 3 dan 4. Keempat virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dengan yang lainnya secara serologis, virus dengue yang termasuk dalam genus Hauirus ini berdiameter 40 monometer dapat berkembang dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan Baik yang yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel-sel antropoda misalnya Aedes Albopictus.
2. Vektor
Virus dengue 1, 2, 3 dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk Abdes aegypti, nyamuk aedes polnesiensi dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya. Nyamuk Aedes Aegpti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain.
3. Host
Jika secorang mendapat infeksi dengue untuk yang pertama kalinya maka ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue Haemoragie lever akan terjadi jika jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari kemudian turun menjadi normal/lebih rendah, bersamaan dengan berlangsungnya demam, gejala-gejala klinis yang tidak spesifik seperti : anorexia, nyeri punggung, nyeri tulang dan persendian, nyeri kepala dan rasa lemah.
2. Perdarahan
Perdarahan biasanya pada hari ke 2 dan ke- 3 dari demam dan umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tourniquet yang positif, mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena dan purpura, Perdarahan gastrointesional biasanya didahului dengan nyeri perut yang hebat.
3. Hepotomegali
Pada permulaan dari demam biasanya sudah teraga, meskipun pada anak yang kurang gizi, hati juga sudah teraga. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraga kenyal harus diperhatikan kemungkinan akan terjadi renjatan pada penderita.
4. Renjata (syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya dimulai dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukkan prognosa yang buruk.
F. PATOFISIOLOGI
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen (Suriadi & Yuliani, 2001). Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DHF dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi .
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggoroka dan kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis setelah pemberian plasma/ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakolgis yang bekerja singkat. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit. Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah.
Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat. Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya mega karoisit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadinya dalam sistem retikuloendotelial.
G. KLASIFIKASI
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
2. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. Ditemukan pula perdarahan kulit.
3. Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt) tekanan nadi sempit , tekanan darah menurun.
4. Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur, anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
H. KOMPLIKASI
1. Perdarahan luas.
2. Shock atau renjatan.
3. Effuse pleura
4. Penurunan kesadaran.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin untuk penderita DBD adalah jumlah trombosit dan kadar hematokrit. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat menjadi pertanda penyakit demam berdarah adalah:
a) Ig G dengue positif.
b) Trombositopenia, yaitu menurunnya jumlah trombosit darah hingga kurang dari 100.000/mm3.
c) Hemokonsentrasi; peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20% atau lebih.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura (tampak melalui rontgen dada) dan atau hipoalbuminemia menjadi bukti penunjang adanya kebocoran plasma. Bukti ini sangat berguna terutama pada pasien yang anemia dan atau mengalami perdarahan berat. Pada kasus syok, jumlah hematokrit yang tinggi dan trombositopenia memperkuat diagnosis terjadinya Dengue Shock Syndrom (WHO, 2004).d) Leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofilyang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
e) Isolasi virus
f) Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
g) Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto dada, BUN, creatinin serum.
h) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3) Waktu perdarahan memanjang.
4) Asidosis metabolik.
5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
2. Foto toraks lateral dekubitus kanan.
Terdapat efusi pleura dan bendungan vaskuler
J.PENATALAKSANAAN
1. Tirah baring atau istirahat baring.
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue :
Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang ) atau kejang-kejang.
Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif / negatif, kesan sakit keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
Panas disertai perdarahan
Panas disertai renjatan.
2. Bila terdapat tanda renjatan :
a) Pemasangan infus 12 – 24 jam setelah renjangan diatasi
b) Observasi keadaan umum, tanda vital tiap jam serta HB, PLT dan HCl tiap 4 – 6 jam hari I selanjutnya tiap 24 jam.
3. Bila terjadi dengue syok Syndrom
a) Beri cairan IV diguyur (NaCl, RL) pertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan diatasi
b) Bila tidak tampak perbaikan dapat diberikan plasma/plasma expander atau dextran/perparat hemasel sejumlah 15 – 29m/kg BB pertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi.
c) Bila pada pemeriksaan didapat penurunan kadar HB dan HCl maka diberi tranfusi darah.
d) Kebutuhan cairan pengganti
10 Kg = 100 m//kg BB
10 – 20 kg = 1000 x 50 x kg (> 10 kg)
> 20 kg = 1000 x 20 x kg.
BAB II KONSEP TUMBUH KEMBANG & HOSPITALISASI
A. Konsep Pertumbuhan Usia
Tumbuh adalah proses bertambahnya ukuran/dimensi akibat penambahan jumlah atau ukuran sel dan jaringan interseluler.
Jenis Tumbuh Kembang :
1. Tumbuh kembang fisis meliputi perubahan dalam bentuk besar dan fungsi organisme individu.
2. Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik seperti berbicara,bermain,berhitung dan membaca.
3. Tumbuh kembang social emosional bergantung kemampuan bayi untuk membentuk ikatan batin,berkasih saying,menangani kegelisahan akibat suatu frustasi dan mengelola rangsangan agresif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang :
1. Faktor Genetik
2. Faktor herediter konstitusional
3. Faktor lingkungan
B. Konsep Perkembangan Usia
Kembang/perkembangan adalah proses pematangan/maturasi fungsi organ tubuh termasuk berkembangnya kemampuan mental intelegensia serta perlakuan anak.
Menurut Whaley dan Wong (2000), dalam bukunya Supartini (2004) mengemukakan bahwa perkembangan menitikberatkan pada perubahan yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi dan kompleks melalui proses maturasi dan pembelajaran. Perkembangan berhubungan dengan perubahan secara kualitas, diantaranya terjadi peningkatan kapasitas individu untuk berfungsi yang dicapai melalui proses pertumbuhan, pematangan dan pembelajaran.
Menurut Nursalam (2004), perkembangan merupakan hasil interaksi antara kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, sehingga perkembangan ini berperan penting dalam kehidupan manusia.
Marlow (1988) dalam Supartini (2004) mendefinisikan perkembangan sebagai peningkatan ketrampilan dan kapasitas anak untuk berfungsi secara bertahap dan terus menerus.
Dari pengertian diatas dapat disimpulakan bahwa perkembangan adalah suatu proses yang terjadi secara simultan dengan pertumbuhan yang menghasilkan kualitas individu untuk berfungsi, yang dihasilkan melalui proses pematangan dan proses belajar dari lingkungannya.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan atau keahlian dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses di ferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh organ-organ dan system organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga msing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan (Wong DL, 1995).
Teori Perkembangan Menurut Sigmund Freud :
1.Fase Oral : 0 – 1 tahun
Keuntungan : Kepuasaan/kebahagian terletak pada mulut
Mengisap,menelan,memainkan bibir,makan,kenyang dan tidur.
Kerugian : menggigit,mengeluarkan air liur,marah,menangis jika tidak terpenuhi.
2.Fase Anal : 1 – 3 tahun
Keuntungan : belajar mengontrol pengeluran BAB dan BAK,senang melakukan sendiri
Kerugian : jika tidak dapat melakukan dengan baik.
3.Fase Phalic : 3 – 6 tahun
a) Dekat dengan orang tua lawan jenis
b) Bersaing dengan orang tua sejenis
4.Fase latent : 6 – 12 tahun
a) Orientasi social keluar rumah
b) Pertumbuhan intelektual dan sosial
c) Banyak teman dan punya group
d) Impuls agresivitas lebih terkontrol
5.Fase genital
a) Pemustan seksual pada genital
b) Penentuan identitas
c) Belajar tidak tergantung pada orang tua
d) Bertanggung jawab pada diri sendiri
e) Intim dengan lawan jenis.
Keuntungan : bergroup
Kerugian : konflik diri,ambivalen.
C. Konsep Hospitalisasi Usia
1. Hospitalisasi pada Anak
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2000).
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas, bagi anak (Supartini, 2004). Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan psikis pada anak. Perubahan psikis terjadi dikarenakan adanya suatu tekanan atau krisis pada anak. Jika seorang anak di rawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis yang disebabkan anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang sifatnya menekan (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005).
a) Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005). Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan yang dialaminya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan status kesehatan anak, perubahan lingkungan, maupun perubahan kebiasaan sehari-hari. Selain itu anak juga mempunyai keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan.
Stresor atau pemicu timbulnya stres pada anak yang dirawat di rumah sakit dapat berupa perubahan yang bersifat fisik, psiko-sosial, maupun spiritual. Perubahan lingkungan fisik ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang sempit dan kuang nyaman, tingkat kebersihan kurang, dan pencahayaan yang terlalu terang atau terlalu redup. Selain itu suara yang gaduh dapat membuat anak merasa terganggu atau bahkan menjadi ketakutan. Keadaan dan warna dinding maupun tirai dapat membuat anak marasa kurang nyaman (Keliat, 1998).
Beberapa perubahan lingkungan fisik selama dirawat di rumah sakit dapat membuat anak merasa asing. Hal tersebut akan menjadikan anak merasa tidak aman dan tidak nyaman. Ditambah lagi, anak mengalami perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala yang dialaminya saat sakit. Adanya perlukaan dan rasa nyeri membuat anak terganggu. Reaksi anak usia prasekolah terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu masih bayi. Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif seperti menendang dan memukul. Namun, pada akhir periode balita anak biasanya sudah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005).
Selain perubahan pada lingkungan fisik, stressor pada anak yang dirawat di rumas sakit dapat berupa perubahan lingkungan psiko-sosial. Sebagai akibatnya, anak akan merasakan tekanan dan mengalami kecemasan, baik kecemasan yang bersifat ringan, sedang, hingga kecemasan yang bersifat berat. Pada saat anak menjalani masa perawatan, anak harus berpisah dari lingkungannya yang lama serta orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya, akibatnya perpisahan dengan ibu akan meninggalkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi dirinya dan akan lingkungan yang dikenalnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005).
b) Hospitalisasi pada Anak Usia Prasekolah
Anak usia prasekoolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun (Supartini, 2004). Menurut Sacharin (1996), anak usia prasekolah sebagian besar sudah dapat mengerti dan mampu mengerti bahasa yang sedemikian kompleks. Selain itu, kelompok umur ini juga mempunyai kebutuhan khusus, misalnya, menyempurnakan banyak keterampilan yang telah diperolehnya. Pada usia ini, anak membutuhkan lingkungan yang nyaman untuk proses tumbuh kembangnya. Biasanya anak mempunyai lingkungan bermain dan teman sepermainan yang menyenangkan. Anak belum mampu membangun suatu gambaran mental terhadap pengalaman kehidupan sebelumnya sehingga dengan demikian harus menciptakan pengalamannya sendiri (Sacharin, 1996). Bagi anak usia prasekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu, perawatan di rumah sakit dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan lingkungan yang dirasakanya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan. Anak juga harus meninggalkan lingkungan rumah yang dikenalnya, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004). Beberapa hal tersebut membuat anak menjadi stres atau tertekan. Sebagai akibatnya, anak merasa gugup dan tidak tenang, bahkan pada saat menjelang tidur.
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan data, pengelompokan data, analisa data dan menentukan diagnosa keperawatan.
1. Data subyektifnya adalah :
a) Pasien mengeluh badannya panas
b) Pasien mengeluh nyeri kepala
c) Pasien mengeluh tidak ada nafsu makan
d) Pasien mengeluh mual
e) Pasien mengeluh nyeri ulu hati
f) Pasien mengeluh nyeri otot dan sendi
g) Pasien mengeluh pegal-pegal seluruh tubuh
2. Data Obyektifnya adalah :
a) Suku tubuh meningkat
b) Mukosa mulut kering
c) Tampak menggigil
d) perdarahan guzi
e) Epistaksis
f) Nyeri tekan epigastrik
g) Teraba pembesaran hati dan limpa
h) Uji toriquet positif
i) Hematomisis dan melena
j) Pada renjatan ditemukan : nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, ekstrimitas dingin, sianosis perifer
k) Hasil trombosit menurun.
3. Riwayat Keperawatan
a) Keluhan Utama
1) Keluhan utama saat masuk rumah sakit
Keluhan yang paling utama dikeluhkan oleh pasien sehingga masuk rumah sakit (Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun.)
b) Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Terdahulu
Catatan tentang penyakit yang pernah dialami pasien sebelum masuk rumah sakit (Tidak ada penyakit yang diderita secara specific.)
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Catatan tentang penyakit yang dialami pasien saat ini (saat pengkajian) (Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual, dan nafsu makan menurun)
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Catatan tentang penyakit keluarga pasien yang berhubungan dengan penyakit saat ini(adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain sangat menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk aides aigepty.)
c) Riwayat Kesehatan Lingkungan
Catatan tentang lingkungan sekitar (Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan.)
d) Riwayat Tumbuh kembang
Mengkaji tingkat tumbuh kembang anak untuk memudahkan intervensi dari masalah keperawatan yang muncul
e) Pengkajian Per Sistem
1) Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
2) Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat trjadi DSS
3) Sistem Cardiovaskuler
Pada grde I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
4) Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.
5) Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah.
6) Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan data diatas diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada penderita DHF adalah :
1. Hipertermi berhubungan dengan termoregulasi tak efektif
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler
4. PK : Syok Hipovolemik
5. PK : Trombositopenia
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .....x 24 jam, diharapkan kebutuhan cairan tubuh terpenuhi
Kriteria hasil : tanda-tanda vital stabil, membrane mokosa lembab, turgor kulit baik dan output seimbang.
Rencana tindakan
a) Observasi tanda-tanda vital (rasionalisasi : untuk mengetahui tingkat perkembangan pasien)
b) Observasi status membrane mukosa dan turgor kulit serta catat intake dan output pasien ( rasionalisasi : indikator keadekuatan volume, sirkulasi)
c) Beri minum + 1500 cc – 2000 cc/hari sesuai toleransi (rasionalisasi : untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh)
d) Anjurkan kepada keluarga untuk melapor bila ada tanda-tanda perdarahan spontan seperti mimisan, bintik-bintik merah dan berak darah (rasionalisasi : agar perawatan lebih cepat memberikan intervensi yang tepat.
e) Delegatif dalam pemberian cairan parenteral/infuse (rasionalisasi : untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh).
2. Hipertermi berhubungan dengan tidak efektifan termoregulasi
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .....x 24 jam, diharapkan Suhu tubuh pasien dalam rentang normal (360 C – 370C)
KrIteria hasil : pasien mengatakan badannya tidak panas suhu tubuh rentang normal (360C – 370c)
Rencana Tindakan
a) Observasi tanda-tanda vital (rasionalisasi untuk mengetahui derajat perkembangan pasien)
b) Anjurkan cairan pengganti oral sebagai pilihan klien tiap 4 jam (rasionalisasi : cairan keluar melalui kehilangan air/tidak kasat mata yang membutuhkan pengganti cairan)
c) Beri kompres hangat (rasionalisasi : menghindari penurunan panas secara progresif)
d) Anjurkan pasien menggunakan pakaian tipis dan mudah menyerap keringat (rasionalisasi : membantu proses evaporasi dan memberi rasa nyaman)
e) Kolaborasi dalam pemberian antipiretika (rasionalisasi : obat anti peretika dapat menurunkan suhu tubuh)
f) Delegatif pemberian cairan/infus (rasionalisasi : untuk memenuhi kebutuhan cairan secara parenteral)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anorexia.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .....x 24 jam, diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil : adanya peningkatan asupan makanan, berat badan stabil.
Rencana tindakan :
a) Observasi tanda-tanda vital, timbang berat badan sesuai indikasi (rasionalisasi : untuk mengetahui kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan)
b) Kaji tentang anorexia, mual dan muntah (rasionalisasi : dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area memecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan nutrisi).
c) Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari) dalam porsi hangat (rasionalisasi : memaksimalkan masukan nutrisi dan dapat menurunkan iritasi gaster)
d) Delegatif dalam pemberian terapi bila muntah (rasionalisasi : makanan ditoleransi dengan baik bila mual dan muntah tidak ada)
4. PK Syok Hipovolemik
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .....x 24 jam, diharapkan tidak terjadi komplikasi syok hipovolemik pada pasien dengan kriteria hasil :
a. Tidak terdapat tanda - tanda syok
b. TTV dalam batas normal
1) Suhu dalam rentang normal : 36,5-37,50 C.
2) Nadi dalam batas normal : 60-100 x/menit.
3) Tekanan darah dalam batas normal : 140-100/90-60 mmHg.
4) RR dalam batas normal : 16-20x/menit.
c. Akral hangat
d. GCS 13-15
Rencana Keperawatan
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas, pasang 2 line IV (dan mungkin sebuah sentral line), dan berikan O
2. Observasi tingkat kesadaran pasien
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Kaji tanda-tanda dehidrasi
1. Untuk mempatenkan jalan napas pasien
2. Untuk menentukan pemilihan intervensi yang tepat
3. Mengetahui keadaan umum pasien
4. Dehidrasi dalam jangka waktu yang lama dapat memicu terjadinya syok
Kolaborasi
5. Pemberian volume resusitasi
· Pemberian cairan IV secara cepat (Normal Saline atau RL) - infus 2 liter atau 3 kali sesuai jumlah perkiraan kehilangan volume darah (tidak ada dasar untuk memberikan albumin / koloid untuk mencapai keadaan yang lebih baik)
· Tranfusi RBC darurat untuk perdarahan
6. Terapi inotropik
· Dopamine jika hipotensi (inotropi dan vasokontriksi)
· Dobutamin jika tensinya normal (vasodilatasi)
· Secara umum, hindari terapi yang mempunyai efek vasokontriksi karena akan meningkatkan tekanan darah namun tidak meningkatkan perfusi
7. Faktor pembeku : berikan fresh frozen plasma dan platelet untuk setiap 5 unit pemasukan darah
8. Pembedahan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki perdarahan yang tidak terkontrol
5. Untuk meningkatkan volume intravaskuler dan mengganti kehilangan cairan yang terjadi
6. Hanya digunakan setelah keseimbangan cairan didapatkan
7. Untuk mencegah perdarahan
8. Untuk mengontrol perdarahan
5. PK Trombositopenia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x 24 jam, diharapkan trombosit dalam batas normal, dengan kriteria hasil :
a. Trombosit 140.000 – 340.000 / ml darah
b. TTV stabil
· Suhu dalam rentang normal : 36,5-37,50 C.
· Nadi dalam batas normal : 60-100 x/menit.
· Tekanan darah dalam batas normal : 140-100/90-60 mmHg.
· RR dalam batas normal : 16-20x/menit.
c. Perdarahan gusi (-)
d. Petekie (-)
e. Epistaksis (-)
f. Hematemesis melena (-)
Rencana Keperawatan
INTERVENSI | RASIONAL |
Mandiri 1. Pantau TTV dan laporkan jika ada perubahan signifikan tanda syok 2. Observasi ketat tanda perdarahan : petekie, purpura, epistaksis dll 3. Laporkan jika terjadi perdarahan hebat 4. Pertahankan tirah baring | 1. Untuk identifikasi dini dan pencegahan terjadinya syok serta mengetahui keadaan umum pasien 2. Untuk identifikasi dini terjadinya perdarahan dan mencegah terjadinya komplikasi 3. Untuk menentukan intervensi yang tepat dan mencegah syok hipovolemik 4. Untuk mencegah syok terutama pada perlukaan yang tidak terdeteksi |
Kolaborasi 5. Pemberian IVFD 6. Pemberian transfusi trombosit 7. Pemeriksaan laboratorium untuk kadar trombosit | 5. Untuk menambah volume cairan intravaskuler 6. Untuk menambah volume trombosit dalam darah 7. Untuk mengetahui jumlah trombosit dan evaluasi keefektifan intervensi yang telah diberikan |
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan yang telah disusun.
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi yang diharapkan setelah pasien memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan rencana tujuan dalam perencanaan serta pasien pulang. Adapun evaluasi yang diharapkan pada pasien DHF adalah :
a. Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi
b. Suhu tubuh pasien normal (360C – 370 C)
c. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
d. Pasien tidak mengalami komplikasi syok hipovolemik
e. Trombosit pasien dalam batas normal
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Penyakit Dalam Volume tiga. Jakarta : EGC
Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhankeperawatan berdasarkan diagnosa medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Yogyakarta: MediAction
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, ed 2. Jakarta: EGC.
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Sarwono, W.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Balai Penerbit FKUI
Wong DL, 1995, Nursing Care Of Infant and Children Fifth Edition,Mosby Year Book,Philadelpia USA.
No comments:
Post a Comment