BAB I KONSEP DASAR
A. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Sistem Pernafasan
Setiap manusia memerlukan oksigen untuk hidup dan menjalankan aktivitasnya. Manfaat oksigen bagi tubuh manusia salah satunya yaitu oksigen berperan dalam metabolisme tubuh dalam menghasilkan energy, sehingga organ-organ tubuh manusia dapat bekerja sebagai mana mestinya. Dalam proses mendapatkan oksigen tubuh manusia melibatkan organ-organ diantaranya:
Gambar Sistem Pernafasan Manusia
a. HIDUNG
Gambar Hidung
Hidung merupakan organ pernafasan yang paling pertama, udara dihirup kemudian masuk ke dalam hidung. Hidung berbentuk piramid yang tersusun dari tulang, kartilago hialin dan jaringan fibroaerolar. Hidung dibagi menjadi dua ruang oleh septum nasal. Struktur hidung pada bagian eksternal terdapat folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea yang merentang sampai vestibula yang terletak di dalam nostril. Kulit pada bagian ini mengandung vibrissae yang berfungsi menyaring partikel dari udara terhisap. Sedangkan pada rongga nasal yang lebih dalam terdiri dari epitel bersilia dan sel goblet. Udara yang masuk ke dalam hidung akan mengalami penyaringan partikel dan penghangatan dan pelembaban udara terlebih dahulu sebelum memasuki saluran napas yang lebih dalam.
b. FARING
Gambar Faring
Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5cm. Terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Pada nasofaring terdapat tuba eustachius yang menghubungkannya dengan telinga tengah.Faring merupakan saluran bersama untuk udara dan makanan
c. LARING
Laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago, tiga berpasangan dan tiga lainnya tidak berpasangan. Tiga kartilago yang tidak berpasangan adalah kartilago tiroid yang terlrtak di bagian proksimal kelenjar tiroid, kartilago krikoid yang merupakan cincin anterior yang lebih dalam dan lebih tebal, epiglotis yang merupakan katup kartilago yang melekat pada tepi anterior kartilago tiroid. Epiglotis menutup pada saat menelan untuk mencegah masuknya makanan dan cairan ke saluran pernapasan bawah. Epiglotis juga merupakan batas antara saluran napas atas dan bawah.
d. TRAKEA
Trakea adalah tuba dengan panjang 10-12 cm yang terletak di anterior esofagus. Trakea tersusun dari 16 – 20 cincin kartilago berbentuk C yang diikat bersama jaringan fibrosa yang melengkapi lingkaran di belakang trakea (Ethel Sloane, 2003). Trakea berjalan dari bagian bawah tulang rawan krikoid laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trakea kemudian bercabang menjadi bronkus principallis dextra dan sinistra di tempat yang disebut carina. Carina terdiri dari 6 – 10 cincin tulang rawan.
e. BRONKUS
Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang merupakan percabangan dari trakea. Bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus primer bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin mengecil dan menyempit, batang atau lempeng kartilago mengganti cincin kartilago. Bronkus kanan kemudian akan bercabang menjadi lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Bronkus kiri terdiri dari lobus superior dan inferior.
f. BROKHIOLUS
Bronkiolus merupakan jalan napas intralobular dengan diameter 5 mm, tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar di dalam mukosanya. Bronkhiolus berakhir pada saccus alveolaris. Awal proses
pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.
g. ALVIOLUS
Alveolus adalah kantung udara berukuran sangat kecil dan merupakan akhir dari bronkiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran oksigen dan karbondioksida Alveolus terdiri dari membran alveolar dan ruang intesrstisial.
h. PARU –PARU
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan,tetapi ronga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi, kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding duktus alveolaris mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus.
2. Mekanisme Pernafasan Dalam Tubuh Manusia
Proses respirasi pada tubuh manusia dimulai dengan udara di hirup melalui hidung, didalam hidung udara disaring dan dihangatkan menggunakan rambut hidung dan pembuluh darah didalam hidung. Kemudian udara akan masuk ke melewati faring, laring, trakea, dan kemudian sampai ke bronkus, kemudian bronkus bercabang menjadi dua bagian sehingga udara sampai ke brokhiolus terjadi pertukaran gas di alveolus antara oksigen dan karbondioksida.
B. Definisi
Bronchopneumonia adalah peradangan pada paru yang disesabkan oleh bermacam macam seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. (Ngastiyah,2005)
Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 : 572).
Broncopneumonia adalah inflamasi pada parenkin paru yang terjadi pada ujung akhir bronciolus yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada di dekatnya. (Wong.DL.2004 )
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa Bronchopneumoni adalah suatu peradangan pada paru yang disebabkan oleh bermacam macam seperti bakteri,virus jamur dan benda asing lainnya ,dan mempunyai pola penyebaran,berbercak.
C. Epidemiologi
Angka kematian akibat pneumonia di Asia mencapai 30 – 70% dan secara spesifik pneumonia yang diakibatkan karena penggunaan ventilasi mekanik berkisar 33-50 % dari data pneumonia di ICU. Sedangkan data kematian yang diperoleh dari Singapura, secara signifikan lebih tinggi yaitu 73 % dari pneumonia secara keseluruhan. (Panduan Tata Kelola Pneumonia PERDICI tahun 2009)
Hasil penelitian yang dilakukan Depkes tahun 2007 melalui Riskesdas Indonesia, melaporkan bahwa prevalensi pneumonia menurut diagnosa dan gejala adalah 2,13% (rentang 0,8% - 5,6%). Data pneumonia menurut propinsi menunjukkan bahwa propinsi dengan prevalensi pneumonia tinggi (diatas angka nasional yaitu 3 %), terdapat di Papua Barat, Papua, Gorontalo, NTT, DI Aceh, NTB, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Propinsi- propinsi tersebut merupakan propinsi yang sedang berkembang, sehingga beberapa sarana dan prasarana pendukung kesehatan masih sangat minim termasuk sulit air bersih dan ada kemungkinan perilaku hidup penduduknya ( Holly Maria, 2009 )
D. Etiologi
- Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
- Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
- Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
- Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi. (Reeves, 2001)
E. Manifestasi Klinis
a. Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
ü Nyeri pleuritik
ü Nafas dangkal dan mendengkur
ü Takipnea
b. Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
ü Mengecil, kemudian menjadi hilang
ü Krekels, ronki, egofoni
c. Gerakan dada tidak simetris
d. Menggigil dan demam 38,8 ° C sampai 41,1°C, delirium
e. Diafoesis
f. Anoreksia
g. Malaise
h. Batuk kental, produktif
ü Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat
i. Gelisah
j. Sianosis
ü Area sirkumoral
ü Dasar kuku kebiruan
k. Masalah-masalah psikososial : disorientasi, ansietas, takut mati
F. Patofisiologi
Kuman masuk ke dalam jarinagn paru-paru melalui saluran pernafasan dari atas untuk mencapai bronchoilus dan kemudian alveolus sekitarnya. Kelainan yang timbul berupa bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru-paru, lebih banyak pada bagian basal. Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di udara, aspirasi organisme dari nasofarinks atau penyebaran hematogen dari focus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas masuk ke bronkhioli dan alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial. Kuman pnemukokus dapat meluas melalui porus kohn dari alveoli ke seluruh segmen atau lobus. Eritrosit mengalami pembesaran dan beberapa lekosit dari kapiler paru-paru. Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin dan serta relative sedikit lekosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Paru menjadi tidak berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah menurun,alveoli penuh dengan lekosit dan relative lebih sedikit eritrosit. Kuman pnemukokus di fagositosis oleh lekosit dan sewaktu resolusi berlangsung, makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan leukosit bersama kuman pnemokokus di dalamnya. Paru masuk dalam tahap hepatisasi abu-abu dan tampak abu-abu kekuningkuningan.secara perlahan-lahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin di buang dari alveoli.terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas. Akan tetapi apabila proses konsolidasi tidak dapat berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus maka membrane dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan proses difusiosmosis oksigen pad alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang di bawa oleh darah. Penurunan itu yang secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis. Terdapat cairan purulen pada alveolus juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada paru sehingga dapat berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen dari luar juga mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru.penderita akan berusaha melawan tingginya tekanan tersebut menggunakan otot-otot bantu pernafasan (otot interkosta) yang dapat menimbulkan retraksi dada. Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel) mikroorganisme yang terdapat di dalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah terjadi fase peradangan lumen bronkus berserbukan sel radang akut, terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian lekosit yang banyak pada saat awal peradangan dan bersifat fagositosis) dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi eksudat dapat terjadi karena absorsi yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh, mengandung banyak kuman penyebab (strepkokus, virus dan lain-lain). Selanjutnya eksudat berubah menjadi purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas. Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga timbul peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga timbul peningkatan reflek batuk. Perjalanan patofisiologi di atas bias berlangsung sebaliknya yaitu didahului dulu dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi infeksi pada paru.
G. Pathway
H. Komplikasi
Komplikasi dari broncho pneumoni antara lain Otitis Media Akut (OMA).Terjadi bila tidak diobati maka sputum yang berlebihan akan masuk ke dalam tuba eustaci sehingga menghalangi masuknya udara ketelinga tengah dan mengakibatkan hampa udara kemudian gendang telinga akan tertarik ke dalam timfus efusi.mungkin juga komplikasi yang dekat seperti atelektasis, empisema atau komplikasi jauh seperti meningitis.Komplikasi tidak terjadi bila diberikan antibiotic secara tepat. (Wong 2000)
I. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. Pemeriksaan radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air bronchogram (airspace disease), misalnya oleh streptococcus pneumonia; bronchopneumonia (segmental disease) oleh karena staphylococcus, virus atau mikroplasma.
Bentuk lesi bisa berupa kavitas dengan air-fluid level sugestif untuk
infeksi anaerob, gram negatif atau amiloidosis.
b. Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis umumnya menandai infeksi bakteri, lekosit normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi yang berata sehingga tidak terjadi respon lekosit. Leukopeni menunjukkan adanya depresi imunitas.
c. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan yang predominan pada sputum adalah yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi.
d. Pemeriksaan khusus
Titer antibodi terhadap virus, legionela dan mikoplasma dapat dilakukan. Nilai diagnostik didapatkan bila titer tinggi atau ada kenaikan 4x.
Analisa gas darah dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen.
J. Penatalaksanaan
a. Antibiotik
Antibiotik yang sering digunakan adalah penicillin G. Mediaksi efektif lainnya termasuk eritromisin, klindamisin dan sefalosporin generasi pertama.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada keadaan sepsis berat.
c. Inotropik
Pemberian obat inotropik seperti dobutamin atau dopamine kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal pre renal.
d. Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan dengan tujuan untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan pemeriksaan analisa gas darah.
e. Nebulizer
Nebulizer digunakan untuk mengencerkan dahak yang kental. Dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronchodilator bila terdapat bronchospasme.
f. Ventilasi mekanis
Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia :
1. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan oksigen 100 % dengan menggunakan masker
2. Gagal nafas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau didapat asidosis respiratorik.
3. Respiratory arrest
4. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
menjelang tidur.
BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
I. Pengkajian
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat gagal jantung kronis
Tanda : takikardi, penampilan keperanan atau pucat
c. Integritas Ego
Gejala : banyak stressor, masalah finansial
d. Makanan / Cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM
Tanda : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor
buruk, penampilan malnutrusi
e. Neurosensori
Gejala : sakit kepala dengan frontal
Tanda : perubahan mental
f. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : sakit kepala nyeri dada meningkat dan batuk myalgia, atralgia
g. Pernafasan
Gejala : riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal
Tanda : sputum ; merah muda, berkarat atau purulen
Perkusi ; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural
Bunyi nafas : menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau nafas Bronkial
Framitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
Warna : pucat atau sianosis bibir / kuku
h. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun, demam
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin pada kasus rubeda / varisela
i. Penyuluhan
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
II. Diagnosa keperawatan dan intervensi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan dengan :
§ Inflamasi trakeobronkial, pembentukan oedema, peningkatan produksi sputum
§ Nyeri pleuritik
§ Penurunan energi, kelemahan
Kemungkinan dibuktikan dengan :
§ Perubahan frekuensi kedalaman pernafasan
§ Bunyi nafas tak normal, penggunaan otot aksesori
§ Dispnea, sianosis
§ Bentuk efektif / tidak efektif dengan / tanpa produksi sputum
Kriteria Hasil :
§ Menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas
§ Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tak ada dispnea atau sianosis
Intervensi :
Mandiri
§ Kali frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada
§ Auskultasi paru catat area penurunan / tak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan (krakles, mengi)
§ Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam
§ Penghisapan sesuai indikasi
§ Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
Kolaborasi
§ Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain
§ Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspetoran, bronkodilator, analgesik
§ Berikan cairan tambahan
§ Awasi seri sinar X dada, GDA, nadi oksimetri
§ Bantu bronkoskopi / torakosintesis bila diindikasikan
2. Gangguan pertukaran gas dapat dihubungkan dengan
§ Perubahan membran alveolar – kapiler (efek inflamasi)
§ Gangguan kapasitas oksigen darah
Kemungkinan dibuktikan oleh :
§ Dispnea, sianosis
§ Takikandi
§ Gelisah / perubahan mental
§ Hipoksia
Kriteria Hasil :
§ Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernafasan
§ Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen
Intervensi :
Mandiri
§ Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas
§ Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku
§ Kaji status mental
§ Awasi status jantung / irama
§ Awasi suhu tubuh, sesui indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil
§ Pertahankan istirahat tidur
§ Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif
§ Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan masalah / perasaan.
Kolaborasi
§ Berikan terapi oksigen dengan benar
§ Awasi GDA
3. Pola nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan dengan :
§ Proses inflamasi
§ Penurunan complience paru
§ Nyeri
Kemungkinan dibuktikan oleh :
§ Dispnea, takipnea
§ Penggunaan otot aksesori
§ Perubahan kedalaman nafas
§ GDA abnormal
Kriteria Hasil :
§ Menunjukkan pola pernafasan normal / efektif dengan GDA dalam rentang normal
Intervensi :
Mandiri
§ Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
§ Auskultasi bunyi nafas
§ Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
§ Observasi pola batuk dan karakter sekret
§ Dorong / bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif
Kolaborasi
§ Berikan Oksigen tambahan
§ Awasi GDA
4. Hipertermi
Dapat dihubungkan : peningkatan suhu tubuh
Kemungkinan dibuktikan oleh :
§ Demam, penampilan kemerahan
§ Menggigil, takikandi
Kriteria Hasil :
§ Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
§ Tidak menggigil
§ Nadi normal
Intervensi :
Mandiri
§ Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
§ Pantau warna kulit
§ Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan
Kolaborasi
§ Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik
§ Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari
5. Intoleran aktivitas
Dapat dihubungkan dengan
§ Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
§ Kelemahan, kelelahan
Kemungkinan dibuktikan dengan :
§ Laporan verbal kelemahan, kelelahan dan keletihan
§ Dispnea, takipnea
§ Takikandi
§ Pucat / sianosis
Kriteria Hasil :
§ Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal
Intervensi :
Mandiri
§ Evaluasi respon klien terhadap aktivitas
§ Berikan lingkungan terang dan batasi pengunjung
§ Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
§ Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
§ Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, Marilynn.(2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC.
2. Smeltzer, Suzanne C.(2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume I, Jakarta : EGC
3.Zul Dahlan.(2000). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
4. Reevers, Charlene J, et all (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica.
5.Lackman’s (1996). Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing, Philadelpia : WB Saunders Company.
6.Nettina, Sandra M.(2001).Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC
7.Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
8.Pasiyan Rahmatullah.(1999), Geriatri : Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Editor : R. Boedhi Darmoso dan Hadi Martono, Jakarta, Balai Penerbit FKUI
No comments:
Post a Comment